Problematika dan Tantangan Media Cetak di Indonesia

By: Muhamad Arif Roriqin – Mahasiswa IAIN Palangka Raya

Muhamad Arif Roziqin
Muhamad Arif Roziqin

WAPSABLOGGER.ID - MAKALAH

Pendahuluan

Teknologi digitalisasi adalah teknologi yang tidak lagi menggunakan tenaga manusia dalam sistem pengolahannya. Digitalisasi cenderung dilakukan pada sistem operasi otomatis dengan format yang dapat dibaca oleh komputer. Perubahan sistem analog ke komputer telah mengubah banyak hal sehingga menimbulkan ancaman terhadap eksistensi media cetak. Akibatnya sebagian besar pengguna media cetak beralih ke teknologi media online karena dianggap lebih praktis dalam penggunaannya (Aji, 2016).

Alur saluran komunikasi pembaca di media cetak kini telah bergeser ke media online sehingga literasi media berubah dari membaca menjadi hanya mendengar dan menonton. Teknologi informasi yang berkembang pesat mendobrak dominasi media cetak yang media tunggal (hanya membaca dan tanggapan tidak bisa instan) menjadi media multimedia online (membaca, mendengar, menulis, melihat, bergerak cepat, serta merespon langsung).

Terjadinya pergeseran perilaku konsumen untuk menggunakan media baru yang menggunakan koneksi internet dan membiasakan diri untuk tidak menggunakan media tradisional menjadi tantangan berat bagi perkembangan media cetak. Padahal media online tidak bisa diakses oleh semua orang karena ada beberapa lokasi yang lambat bahkan tidak ada koneksi internet. Media cetak bertahan dengan hadirnya media online dengan mencoba berbagai cara, salah satunya menggunakan konvergensi media.

Pembahasan

Posisi Media Cetak di Tengah Maraknya Media Online di Indoensia

Dalam sebuah buku berjudul The Vanishing Newspaper yang terbit pada tahun 2006, Philip Meyer meramalkan bahwa pada tahun 2044 hanya akan ada satu salinan surat kabar tersebut. Masa depan surat kabar akhir-akhir ini menjadi pertanyaan besar di tengah gempuran media, khususnya internet. Sejumlah survei besar-besaran menunjukkan bahwa posisi surat kabar sedang tergerus oleh penetrasi media online (Kusuma, 2016).

Menurut Murdoch, umur media cetak bisa diperpanjang jika media cetak menghentikan arogansinya dan memperhatikan kebutuhan masyarakat, terutama kaum muda. Namun, pernyataan itu akhirnya berbanding terbalik dengan perkiraan. Hanya dua tahun setelah pernyataan Meyer, tepatnya pada 2007, surat kabar Inggris milik Rupert Murdoch bisnis The Sun ambruk. Runtuhnya bisnis koran The Sun semakin lengkap dengan bangkrutnya sejumlah media cetak di AS. Fakta mengejutkan selanjutnya adalah bangkrutnya bisnis media cetak Newsweek Magazine, majalah ternama AS yang menguasai liputan berita selama hampir satu abad, yakni selama 80 tahun (Kusuma, 2016).

Hal lain yang menyebabkan terpuruknya media cetak adalah media cetak melibatkan banyak karyawan dalam pengerjaannya, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan jauh lebih mahal dibandingkan media online. Hal ini juga diperkuat dengan fakta bahwa saat ini akses informasi menjadi lebih mudah karena adanya internet. Itulah mengapa generasi muda di era sekarang ini lebih memilih bermain gadget ketimbang membeli majalah atau koran.

Terkait hal tersebut, berdasarkan data Dewan Pers di Indonesia, terdapat 567 media cetak, 1.166 stasiun radio, 394 stasiun televisi, dan 211 media siber sepanjang tahun 2014. Jumlah ini meningkat pesat sebanyak 158 media cetak dibandingkan tahun 2013 yang berjumlah 409. Peningkatan yang paling terlihat adalah di surat kabar, dari sebelumnya 215 menjadi 311.

Meskipun jumlah media cetak mengalami peningkatan, namun dari sisi pembaca mengalami penurunan yang cukup signifikan. Data yang diambil dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 23,0% penduduk usia 10 tahun ke atas membaca surat kabar. Kemudian pada tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 0,3%. Penurunan drastis terjadi pada tahun 2009 dimana pembaca surat kabar menurun drastis menjadi 18,4% dan pada tahun 2012 turun lagi sebesar 17%, yang berarti dalam konteks pembaca dan pasar, liputan media cetak semakin berkurang dan tentunya lambat laun akan menyebabkan industri media cetak akan mengalami kebangkrutan.

Fenomena media online yang diharapkan bisa menggantikan media cetak, saat itu juga terus meningkat di Indonesia. Pada tahun 2005, data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia baru mencapai 3,34 persen. Jumlah pengguna internet baru meningkat signifikan menjadi 35,64% pada tahun 2014. Artinya dalam kurun waktu sembilan tahun telah terjadi peningkatan sepuluh kali lipat. Tentu saja hal ini turut andil dalam kepunahan masa depan media cetak (BPS, 2005).

Problematika Media Cetak di Indonesia

Teknologi informasi yang berkembang pesat meruntuhkan dominasi media cetak yang single media (sekedar membaca dan respon tidak langsung) menjadi media online yang multimedia (membaca, mendengar, menulis, melihat, bergerak dengan cepat). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pembaca media cetak mengalami penurunan, ini dibutikan di tahun 2017 pembaca media cetak turun 17% (Badan Pusat Statistik, 2020).

Inilah yang kemudian mengancam bisnis indutri informasi, perusahaan media cetak. Inilah yang menyebabkan turbulensi hebat sehingga banyak media cetak yang populer di tahun 90-an hampir semua gulung tikar seperti Tabloid Bola, Majalah HAI, Majalah Kawanku, Roling Stone Indonesia dan banyak lagi yang lainnya. Turbulensi (guncangan) ini terjadi dua kali, tepatnya pada tahun 2008 saat internet masuk Indonesia dan di era Smartphone juga awal populernya media sosial seperti Youtube, Friendster, Yahoo, Google dan lainnya di Dunia dan di Indonesia pada tahun 2017 hingga saat ini (Kusuma, 2016).

Harian Sinar Harapan berhenti beroperasi di tanggal 1 Januari 2016, kemudian diikuti Soccer, Harian Bola, Majalah Tajuk, Jurnal Nasional, Prospek, juga Fortune. Paul Gillin, sebagai Pakar dan ahli teknologi informasi di Massachusetts menyampaikan jika model usaha media cetak tidak akan bertahan lama dan menunggu kematian. Arus gerak ekonomi menyudutkan dan menyerang bisnis cetak. Media cetak menyertakan puluhan, ratusan bahkan ribuan karyawan, maka biaya produksi juga lebih mahal dibanding media online yang murah meriah. Apalagi di era saat ini generasi muda lebih senang hiburan yang variatif di internet dibanding harus membeli tabloid atau pun koran (Rahmad, 2013).

Diketahui tren media cetak anjlok dan peserta tahu bahwa ada booming penggunaan media digital pada industri majalah. Diskusi di dalamnya juga membahas upaya pemanfaatan website, menengahi tupoksi editorial juga bisnis, tren produk baru, terlebih perencanaan strategis, pemasaran dan periklanan di Internet. Muncul pergeseran perilaku konsumen untuk menggunakan media baru yang memakai koneksi internet juga membiasakan diri tidak menggunnakan media tradisional menjadi tantangan berat bagi perkembangan media cetak.

Walaupun media online tidak bisa ditelusuri oleh keseluruhan orang sebab ada beberapa lokasi yang lambat bahkan tidak ada koneksi internetnya. Media cetak bertahan dengan hadirnya media online dengan mengupayakan berbagai cara, salah satunya menggunakan konvergensi media.

Konvergensi media adalah bagian dari metamorfosa media massa yang mengikutsertakan di dalamnya banyak faktor teknologi. Adanya internet menyebabkan media massa menggunakan teori konvergensi media seperti e-paper, e-books, media online, e-magazine, radio streaming, dan media sosial (Resmadi & Yuliar, 2014). Perlawanan bisnis media dijadikan motivasi media massa menerapkan konsep ini karena perkembangan teknologi tidak lagi mengutamakan cetakan (koran, majalah, buku) saja. Inovasi kreatifitas, kreasi, dan konvergensi media sangat diinginkan supaya media massa bisa tetap eksis di era bisnis akhir-akhir ini. Sebagai bagian dari bentuk inovasi, konvergensi media membutuhkan bermacam tahapan dan proses dalam implementasinya. Ditemukan adanya difusi inovasi konvergensi media dalam fokus penelitian harian Pikiran Rakyat, yang mengatakan bahwa konvergensi media dapat ditiru oleh media massa secara bertahap (Resmadi & Yuliar, 2014).

Ketika harga kertas meningkat dan perusahaan media cetak kesulitan mengembangkan bisnis informasinya, mau tidak mau media cetak harus berubah dan beradaptasi agar mampu juga beradaptasi terhadap pembaharuan dan perkembangan teknologi digital yang cepat (Andoko, 2010). Surat kabar Kompas tidak hanya memposisikan dirinya sebagai surat kabar cetak tetapi juga sebagai wadah informasi multimedia dengan menggunakan berbagai platform seperti internet, smartphone, aplikasi, media sosial, web, dan perangkat digital lainnya. Jika di sistem dalam bentuk platform, media cetak mungkin akan hilang atau sulit ditemukan di masa mendatang. Namun dari segi saluran, informasi akan tetap abadi, bahkan dengan konten yang lebih beragam dan heterogen, kaya akan pilihan. Namun kendala yang dihadapi surat kabar akan sangat sulit jika dibandingkan dengan buku karena karakter bisnis surat kabar yang sangat mementingkan keuntungan dari iklan.

Sudut pandangnya, mendapatkan informasi di internet itu gratis dan inilah yang membuat tim surat kabar kesulitan meminta rupiah dari layanan informasi yang diserap pelanggan. Di sisi lain, kemajuan teknologi digital telah menghilangkan monopoli informasi oleh sekelompok birokrat dan menciptakan partisipasi yang luas dan mudah bagi semua orang untuk menyampaikan informasi. Teknologi digital juga akan menjaga budaya dan peradaban membaca dan menulis sekaligus melanjutkan kampanye dan kesadaran akan perlunya menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Tantangan Media Cetak di Indonesia

Saat ini pola dan juga strategi persaingan dalam perusahaan pers utamanya media cetak sangat terasa, ini merupakan wujud kretivitas, inovasi, dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi. Transformasi pada perusahaan media cetak dalam mencapai konvergensi adalah gambaran action reaction juga upaya preventif atas beberapa tebakan para ahli perihal proyeksi jangka panjang surat kabar. Ada anggapan, jika komputer tablet banyak digunakan untuk para penerbit media cetak di seluruh penjuru dunia (Sugiya, 2012).

Jurnalisme tradisional membahas tentang media cetak, TV, dan radio kemudian bergabung dengan media baru ini (konvergensi media) cukup membantu mengukur akurasi pemberitaan sebuah media. Akurasi online terbilang lemah karena Jurnalisme online tidak ada selfcontrol dan gate keeper (power media). Etika jurnalistik berkurang karena hanya mementingkan sensasional, tidak semua di bawah asosiasi profesi sehingga pertanggungjawaban berkurang, tidak banyak mempertimbangkan kode etik dan nilai sebuah berita.

Media cetak tidak hanya berhadapan dengan Dewan Pers tetapi juga dengan Komisi Penyiaran Indonesia dengan ramainya konvergensi media yang berjalan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah regulator dan lembaga yang bebas dalam penyelenggaraan penyiaran dan diawasi langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat. KPI berwenang dalam menentukan standar, aturan, pedoman, mengawasi, memberi sanksi, dan berkoordinasi terkait penyiaran. Wewenang KPI hanya terbatas pada konten TV, Radio, dan lembaga penyiaran lainnya. Untuk konten digital KPI belum punya wewenang apapun (Agung Suprio Ketua KPI Pusat 2019-2022).

Konvergensi media membuat harmonis KPI dengan Dewan Pers selain diakui bahwa jika ingin Industri Pers tetap hidup, salah satu pilihan terbaiknya adalah Konvergensi Media di era digital ini. Konvergensi media merupakan keharusan bagi industri media cetak ini yang membuat perlunya rencana tindak lanjut utamanya penguatan sumber daya manusia juga peningkatan sarana-prasarana bagi penerbit media cetak. Sehingga perusahaan pers benar-benar mampu menguasai informasi dan teknologi.

Media surat kabar dan online mempunyai keunggulan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Surat kabar lebih terkesan lama, sebab informasi yang lebih dulu disampaikan melalui saluran televisi dan media online, baru bisa diterima pembaca esok hari setelah terbit cetakannya. Lain cerita untuk media online mempunyai keutamaan update, cepat, dan menyeluruh. Seperti contoh: kompas.com yang memberikan informasi yang cepat dan update selama 24 jam tanpa berhenti, juga media online yang tercepat menginformasikan berita dalam hal peringatan dini bencana alam jika dibandingkan dengan media cetak. Kekurangan media online yaitu terkait akurasi berita.

Harus meneropong secara seksama dalam hal fenomena media cetak yang secara lambat mulai bergerak ke media online. Keseluruhan data ekonomi mulai dari aspek bisnis iklan dan olah surat kabar juga data netizen yang melakukan akses media online yang berada di Negara Indonesia. Tahap berikutnya yaitu ketercukupan dan ketersediaan infrastruktur dan pendukung teknologi komunikasi di Indonesia juga mengamati penyaluran teknologi informasi di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian dibutuhkan kemampuan lebih dalam hal meningkatkan literasi media masyarakat juga sikap khalayak media, dalam pengambilan keputusan masa depan media cetak di Negara Indonesia.

Walaupun media online maju dengan cepat dan media cetak diramalkan di negara-negara Eropa akan bangkrut dan runtuh, beda halnya di Indonesia media cetak masih bisa menjaga eksistensinya. Ini dibuktikan dengan eksistensi media cetak yang mengalami peningkatan jumlah media cetak baru pada tahun 2014 dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Media cetak di Indonesia bisa menyesuaikan diri dengan trik konvergensi media cetak ke media online, tetapi tidak melupakan hal yang hakiki tentang tetap adanya industri media cetak tersebut. Maka industri pers di Indonesia menjadi sangat menarik untuk dilakukan kajian dan penelitian secara mendalam terkait Dinamika Produksi Media Cetak dan tantangan Penyiaran di Indonesia (Maulana & Gumelar, 2020).

Konvergensi media memberi penawaran menarik dimana media cetak juga mengembangkan diri ke e-magazine, e-paper, e-information, e-entertainment, e-books, radio streaming, dan juga media sosial seperti channel Youtube yang bisa di AdSense dan monetisasi konten. Konvergensi media di lain sisi menunjukkan progresivitas lembaga media penyiaran dalam upaya mewujudkan profesionalisme kerja media dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Sehingga mutu dan kepercayaan masyarakat terbentuk dari media yang selalu adaptif terhadap perkembangan zaman dan ini sesuai dengan etika jurnalistik. Kemudian budaya literasi yang kuat, ini mendorong pendidikan dan pembelajaran juga latihan utamanya bagi calon jurnalis yang saat ini diharuskan multitasking dalam kemampuannya menyentuh media seperti pemahaman kuat pada menulis, video, fotografi, grafik, dan mampu berperan sebagai host, selain mengharapkan masyarakat yang cerdas literasi dengan membaca buku dan media cetak yang lain (Khadziq, 2016).

Penutup

Kesimpulan

Arus saluran komunikasi pembaca di media cetak sekarang bergeser ke media online sehingga literasi media berubah dari reading menjadi sekedar hearing dan watching. Teknologi Informasi yang berkembang pesat meruntuhkan dominasi media cetak yang single media (sekedar membaca dan respons tidak bisa seketika) menjadi media online yang multimedia (membaca, mendengar, menulis, melihat, dan bergerak dengan cepat). Selain itu kini masyarakat lebih memilih media online karena mereka mudah mengakses hal-hal yang mereka inginkan dan juga lebih mudah, cepat, akurat, tanpa terhalang ruang, dan waktu. Oleh karena itu, kini media cetak lambat laun mulai di tinggalkan dan kini masyarakat mulai berpindah pada media online yang lebih mudah diakses dan dijangkau selagi mimiliki jaringan dan kuota internet.

Reference

Aji, R. (2016). Digitalisasi, Era Tantangan Media (Analisis Kritis Kesiapan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Menyongsong Era Digital). Islamic Communication Journal, 1(1), Article 1. https://doi.org/10.21580/icj.2016.1.1.1245

Andoko, A. (2010). Teknologi Digital: Akankah Media Cetak Berakhir? Jurnal Ultimatics, 2(1).

Badan Pusat Statistik. (2020, Oktober 12). Survei Sosial Nasional. https://www.bps.go.id/index.php/pencarian?keywordforsearching=internet&yt1=

Khadziq. (2016). Konvergensi Media Surat Kabar Lokal (Studi Deskriptif Pemanfaatan Internet pada Koran Tribun Jogja dalam Membangun Industri Media Cetak Lokal). Yogyakarta: E-Journal Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, 10(1), 5–20.

Kusuma, S. (2016). Posisi Media Cetak di Tengah Perkembangan Media Online di Indonesia. Jurnal InterAct, 5(1), 56–71.

Maulana, H., & Gumelar, G. (2020). Psikologi Komunikasi dan Persuasi—Edisi 2 (1 ed.). Bogor: In Media.

Rahmad, M. (2013). Masa Depan Bisnis Media di Era Konvergensi. Gerontik. Jakarta: EGC.

Resmadi, I., & Yuliar, S. (2014). Kajian Difusi Inovasi Konvergensi Media di Harian Pikiran Rakyat. Jurnal Sosioteknologi, 13(2), 110–118.

Sugiya, A. (2012). Strategi Transformasi Konvergensi Media Studi Kasus Grand Strategy Harian Kompas [Tesis, Universitas Indonesia]. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20307883&lokasi=lokal

2 comments for "Problematika dan Tantangan Media Cetak di Indonesia"